Gangguan pendengaran Anak - Pengertian, Penyebab, Diagnosis, & Komplikasi

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara sebagian atau seluruhnya dalam mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Jenis gangguan pendengaran dapat dibedakan berdasarkan intesitas (ringan sampai berat) dan berdasarkan organ yang terkena (tuli konduktif, tuli sensorineural, dan tuli campuran).
Gangguan-Pendengaran-pada-Anak
Di Indonesia, sektiar 9,6 juta orang mengalami gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran mengakibatkan anak sekolah sulit menerima pelajaran, produktivitas menurun dan biaya hidup tinggi. Ini dikarenakan, telinga mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut kajian, mendengar dapat menyerap 20 persen informasi, lebih besar dibanding membaca yang hanya menyerap 10 persen informasi. Mengingat pentingnya masalah ini, beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia, menyepakati tanggal 3 Maret sebagai peringatan Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran (HKTP).
Tahun 2010 merupakan tahun pertama Indonesia memperingati HKTP dengan tema Telinga Sehat Pendengaran Baik. Di Indonesia, gangguan pendengaran dan ketulian saat ini masih merupakan satu masalah yang dihadapi masyarakat. Berdasarkan hasil Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran di 7 provinsi tahun 1993-1996, prevalensi ketulian 0,4 persen dan gangguan pendengaran 16,8 persen. Penyebabnya, infeksi telinga tengah (3,1 persen) presbikusis (2,6 persen), tuli akibat obat ototoksik (0,3 persen), tuli sejak lahir atau kongenital (0,1 pertsen) dan tuli akibat pemaparan bising.
Gangguan pendengaran pada anak terbagi menjadi 2:
  • Tuli kongenital (bawaan lahir), terbagi ke dalam faktor non-genetik dan faktor genetik
  • Tuli setelah kelahiran (acquired hearing loss)
Istilah gangguan pendengaran bawaan berarti gangguan pendengaran yang ada saat lahir. Gangguan pendengaran kongenital dapat disebabkan oleh faktor genetik atau nongenetik.

Penyebab Gangguan Pendengaran Anak

Faktor nongenetik dapat menyebabkan sekitar 25 persen gangguan pendengaran bawaan. Faktor nongenetik yang diketahui menyebabkan gangguan pendengaran bawaan meliputi:
  • Infeksi maternal, seperti rubella (campak Jerman), sitomegalovirus, atau virus herpes simpleks
  • Kelahiran prematur
  • Bayi dengan Berat lahir rendah
  • Kecelakaan saat persalinan
  • Toksin dari obat-obatan dan alkohol yang dikonsumsi ibu selama kehamilan. Obat-obat tertentu dapat mengganggu pendengaran atau keseimbangan. Lebih dari 200 obat-obatan dan bahan kimia memiliki rekam jejak memicu gangguan mendengar atau memiliki efek samping keseimbangan selain kemampuan melawan penyakit. Obat-obat tersebut antara lain adalah beberapa antibiotik dan obat kemoterapi, aspirin, diuretik loop, obat yang digunakan untuk mengobati malaria, dan beberapa obat darah tinggi seperti sildenafil.
  • Komplikasi yang terkait dengan faktor relative humidity (Rh) atau kelembapan dalam darah, seperti ikterik atau penyakit kuning
  • Diabetes maternal, berkaitan dengan pasokan darah di janin terganggu, termasuk ke telinga. Otosklerosis adalah penyakit tulang telinga tengah dan penyakit Ménière memengaruhi telinga bagian dalam. Keduanya dapat menyebabkan gangguan pendengaran
  • Keracunan kehamilan (preeklampsia)
  • Kurangnya oksigen (anoksia)
Faktor Genetik
Faktor genetik diperkirakan menyebabkan lebih dari 50 persen dari semua gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran akibat cacat genetik dapat terjadi saat lahir atau berkembang di kemudian hari. Sebagian besar gangguan pendengaran genetik dapat digambarkan sebagai kondisi genetik autosomal resesif atau autosomal dominant. Kelainan pendengaran genetik lain yang lebih jarang terjadi termasuk hubungan X-linked (terkait dengan kromosom seks).
Pada gangguan pendengaran resesif autosomal, kedua orangtua membawa gen resesif gangguan pendengaran dan menurun ke anak. Orangtua sering terkejut saat mengetahui anak mereka mengalami gangguan pendengaran karena mereka tidak sadar bahwa mereka membawa gen yang cacat. Pola jenis herediter (diwariskan) ini menyumbang sekitar 70 persen dari semua gangguan pendengaran genetik.
Gangguan pendengaran autosomal dominan terjadi ketika gen abnormal dari satu orangtua dapat menyebabkan gangguan pendengaran meskipun gen pencocokan dari orangtua lainnya normal. Orangtua yang membawa gen dominan mungkin juga mengalami gangguan pendengaran serta tanda dan gejala lain yang membentuk sindrom genetik. Pola autosomal dominan mencakup 15 persen dari semua kasus kehilangan pendengaran genetik.
Ada banyak sindrom genetik yang berbeda namun memberikan manifestasi yang mencakup gangguan pendengaran sebagai salah satu gejala. Contohnya meliputi:
  • Sindrom down
  • Sindrom usher
  • Sindrom treacher collins
  • Sindrom crouzon
  • Alport syndrome
  • Sindrom waardenburg
Acquired hearing loss adalah gangguan pendengaran yang muncul pasca-kelahiran. Kehilangan pendengaran bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan seseorang, akibat sakit atau cedera.

Penyebab Gangguan Pendengaran Pascakelahiran

Berikut contoh kondisi yang dapat menyebabkan hilangnya pendengaran pada anak-anak:
  • Infeksi telinga –sangat umum terjadi pada anak-anak
  • Obat-obatan yang beracun di telinga
  • Meningitis
  • Campak
  • Ensefalitis
  • Cacar air
  • Flu
  • Gondongan
  • Cedera kepala
  • Paparan kebisingan

Diagnosa Gangguan Pendengaran Anak

Bayi dengan tuli kongential seringkali sama dengan bayi-bayi lainnya, menangis, beraktivitas, bermain, sama seperti bayi lainnya, karena tingkah laku bayi tidak tergantung pada proses mendengar.
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai apabila:
  • Usia 12 bulan: belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi
  • Usia 18 bulan: tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti
  • Usia 24 bulan: perbendaharaan kata <10 kata
  • Usia 30 bulan: belum dapat merangkai 2 kata
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis dini perlu dilakukan. Cara mudah untuk melakukan pemeriksaan pendengaran apabila tidak ada sarana yaitu dengan memberikan bunyi-bunyian pada jarak 1 meter di belakang anak:
  1. Bunyi “pss-pss” untuk menggambarkan suara frekuensi tinggi
  2. Bunyi “uh-uh” untuk menggambarkan frekuensi rendah
  3. Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir (frekuensi 4000 Hz)
  4. Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekuensi 900 Hz)
  5. Suara remasan kertas (frekuensi 6000 Hz)
  6. Suara bel (frekuensi puncak 2000 Hz)

Pemeriksaan

Saat ini Otoaccoustic Emission (OAE ) dan  Automatic Audiometry Brainstem Response (AABR) merupakan teknik pemeriksaan baku emas (gold standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif, dan sensitivitas mendekati 100 persen. Hal penting yang diperhatikan sebelum dilakukan pemeriksaan adalah lubang telinga harus bersih dan tidak ada gangguan pada telinga tengah.
Pemeriksaan lain yang tidak kalah penting adalah Behavioural Observation Audiometry (BOA), yaitu untuk melihat perilaku anak terhadap stimulus suara yang diberikan. Faktor yang memengaruhi pemeriksaan ini antara lain usia, kondisi mental, kemauan melakukan tes, rasa takut, kondisi neurologik yang berhubungan dengan perkembangan motorik, dan persepsi. Diharapkan pada usia 3 bulan pemeriksaan sudah selesai dilakukan dan intervensi dapat dimulai pada usia 6 bulan. Pemberian alat bantu dengar membantu anak dalam proses habilitasi suara dan belajar berbicara. Selanjutnya, pada usia 1,5 hingga 2 tahun mulai dilatih di taman latihan khusus. Sebagai pilihan lain di Jakarta sejak tahun 2002 sudah ada program implantasi koklear dengan persyaratan tertentu.
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi atau anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan memengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam keadaan normal, seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak jauh lebih sulit, memerlukan ketelitian dan kesabaran. Selain itu, pemeriksa harus memiliki pengetahuan tentang hubungan antara usia bayi atau anak dengan taraf perkembangan motorik dan auditorik.
  • Brain Evoked Response Audiometry (BERA) merupakan alat yang bisa digunakan untuk mendeteksi dini adanya gangguan pendengaran, bahkan sejak bayi baru saja dilahirkan
  • OAE adalah gelombang yang dihasilkan oleh sel rambut halus bagian luar dari rumah siput, setelah diberi stimulus. Munculnya gelombang ini sebagai indikasi bahwa rumah siput bekerja dengan baik, yang berhubungan langsung dengan fungsi pendengaran.

Komplikasi tuli kongenital

Anak dengan tuli unilateral mengalami kesulitan dalam menentukan lokasi sumber suara dan mendengar di tempat yang sangat terlalu bising, di mana sang anak akan kesulitan dalam kegiatan sekolah. Beberapa hal yang mungkin terjadi adalah kegagalan sekolah, melamun, kesulitan konsentrasi, dan peningkatan masalah perilaku.
Anak dengan tuli bilateral mengalami keterbatasan dalam menerima dan mengekspresikan kemampuan berbicara, kemampuan membaca, dan kemampuan berhitung. Penderita tuli akan mengalami kesulitan mencari pekerjaan, sedikit kesempatan mencari penghasilan, dikucilkan, batasan berbahasa yang akan membatasi bersosialisasi dan pengurangan kualitas hidup.
Jadi, kenalilah gangguan pendengaran pada anak Anda sedini mungkin, agar tidak sampai terjadi komplikasi yang tidak diharapkan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel